SELARAS DALAM OLAH HATI DAN OLAH PIKIR
(REFLEKSI HIDUP
MENURUT FENOMENA COMPTE)
Oleh: Vivi Nurvitasari (1570125102)
Refleksi Hidup Dalam Rangka Memenuhi Tugas Filsafat
Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
(Kamis, 19 November 2015)
Pertama kali saya mendengar tentang filsuf Auguste Compte
dari Bapak Marsigit pada perkuliahan Filsafat Ilmu di ruang 306A Prodi PEP
Kelas B yang dilaksanakan setiap Hari Kamis pukul 07.30-09.10. Auguste Compte
merupakan sosok filosof besar pencetus aliran Positivisme, yaitu
sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad-19 dan merupakan kelanjutan
dari Empirisme.
Positivisme yang
menandai krisis-krisis di barat itu sebenarnya marupakan salah satu dari sekian
banyak aliran-aliran filsafat di barat, meski dalam beberapa segi mengandung
kebaruan namun pandangan ini bukan merupakan suatu hal yang sama sekali baru,
karena pada masa sebelumnya Kant sudah berkembang dengan pendangannya mengenai
empirisme yang dalam beberapa segi berkesesuaian dengan positivisme.
Adapun yang menjadi
tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah apa yang telah diketahui
adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang
dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya,
sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh,
fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam
asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Menurut Compte dan juga para penganut aliran positivisme,
ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme
menolak metafisisme. Bagi Compte, menanyakan hakekat
benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh
karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan
hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis
membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang
dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti
ini, kemudian Auguste Compte mencoba mengembangkan
positivisme ke dalam agama atau
sebagai pengganti agama.
Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di
berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan.
Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada
isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan)
tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak
mempunyai arti dan faedah. Compte berpendapat bahwa suatu
pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta.
Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan
data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model
pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan,
mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Compte yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang
terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan
positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau
atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal
dapat dijadikan sebagai objek ilmiah sedangkan sebaliknya yang tidak dapat
dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran
bagi Positivisme Compte selalu bersifat riil dan
pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung
kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Compte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian
itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau
penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari
pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Filsafat positivisme Compte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis,
bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Compte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa
melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin
dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. (http://lauraerawardani.blogspot.co.id/2014/04/positivisme-august-comte-serta-fakta.html)
Pada dasarnya positivisme
bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia menyempurnakan empirisme
dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific
method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris
yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme. Misalnya, hal
panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100 derajat celcius,
besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang ukuran
meter, ton, dan seterusnya.
Pada intinya, positivisme
tidak hanya menggunakan metode rasionalisme saja atau empirisme saja, tetapi
menggabungkan keduanya dengan cara melihat gejala yang fakta dan nampak lalu
merasionalkannya dengan mencoba meramalkan gejala yang akan terjadi setelahnya.
Contohnya hari ini langit mendung, itu adalah bagian dari empirisme, lalu
diperkirakan sebentar lagi akan turun hujan, itu merupakan bagian dari
rasionalisme. Jadi ide positivisme di sini adalah berpatokan pada gejala yang
telah nampak.
Menurut Compte, perkembangan
pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap atau 3 zaman, yaitu zaman teologis,
zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau zaman positif.
1. Tahap Teologis
Pada zaman atau tahap
teologis orang mengarahkan rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu. Jadi
orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan yang mutlak. Oleh
karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin, bahwa di belakang tiap
kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Pada tahap ini
terdapat 3 tahap lagi, yaitu: a) tahap yang paling bersahaja atau primitif,
ketika orang menganggap, bahwa segala benda berjiwa (animisme); b) tahap ketika
orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing
diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya,
sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya
sendiri (politeisme); c) tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang
bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
2. Tahap Metafisik
Zaman yang kedua, yaitu
zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman
teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa hanya diganti
dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian atau dengan
pengada-pengada yang lahiriah yang kemudian dipersatukan dengan sesuatu yang
bersifat umum yang disebut alam dan yang dipandang sebagai asal segala
penampakan atau gejala yang khusus.
3. Tahap Positif
Zaman positif adalah zaman
ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau
pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis, maupun pengenalan metafisis.
Ia tidak lagi mau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada
di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum
kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau
disajikan padanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Pada
zaman ini pengertian “menerangkan” berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan
dengan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan
tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu
fakta yang umum saja.
Hukum 3 zaman atau 3 tahap
di atas bukan hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia,
tetapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri. Contoh praktisnya
adalah dalam pelajaran matematika sebuah rumus bagi anak-anak hanya dijadikan
sebuah teori dan tidak ada usaha untuk mengkritisinya atau mempraktekannya.
Ketika remaja dia sudah mulai mengkritisi dan mempraktekannya dan mempunyai
gambaran-gambaran atau abstraksi metafisik tentang rumus tersebut. Dan ketika
sudah dewasa dia telah menemukan hasil dari nilai praktis rumus tersebut.
Dalam refleksi hidup sekarang ini masih banyak yang
cenderung mempraktikkan pemikiran-pemikiran dari Compte. Misalnya saja dalam
dunia pendidikan, adanya kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013 merupakan hasil
dari pemikiran Compte tentang positivisme atau saintifik. Dalam Kurikulum 2013,
metode yang cenderung digunakan adalah metode saintifik yang menekankan pada
eksperimen, menguji suatu kebenaran secara empiris lalu merasionalkannya dengan
melakukan olah pikir. Seperti yang disebutkan diatas bahwa positivisme tidak
hanya berhubungan dengan empirisme saja namun juga berhubungan dengan
rasionalitas. Maka positivisme itu hanya mempelajari hal-hal atau sesuatu yang
nampak atau nyata oleh karena itu suatu metode saintifik juga hanya bisa
digunakan untuk menguji fenomena atau hal yang nampak atau nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Karena positivisme lebih menekankan pada hal-hal yang
nampak yang bersifat empriris juga rasionalisme, maka Compte juga berpendapat
bahwa spiritualitas atau agama dan yang berkaitan dengan Tuhan itu tidaklah
menjadi hal yang penting sehingga menganggap bahwa ibadah itu tidaklah penting.
Seperti apa yang Pak Marsigit sampaikan dalam perkuliahan bahwa ketika
seseorang mempunyai hp atau gadget baru, maka seseorang tersebut akan fokus
pada gadget barunya dan akan melupakan atau bahkan meninggalkan ibadah sholat. Fenomena
tersebut mencerminkan bahwa sebagai manusia kita terlalu jauh dari rasa syukur,
rendah hati dan juga keikhlasan hati. Sehingga hal tersebut menjadi urgensi bagi
kita untuk mempelajari Filsafat Ilmu, agar kita selalu menyadari tentang
kekurangan dan keterbatasan kita dan mampu untuk mensyukuri atas apa yang ada.
sehingga dari rasa syukur tersebut akan muncul suatu keikhlasan hati untuk
selalu beribadah mendekatkan diri pada Allah.
Oleh karenanya kita sebagai manusia yang masih jauh dari
kesempurnaan perlu adanya membangun sebuah konsep hidup yang seimbang dan
selaras antara olah hati yang didasari oleh spiritualitas dan juga olah pikir
yang didasari dengan ilmu pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar