Minggu, 29 November 2015

SELARAS DALAM OLAH HATI DAN OLAH PIKIR (Refleksi Hidup Menurut Fenomena Compte)

SELARAS DALAM OLAH HATI DAN OLAH PIKIR
(REFLEKSI HIDUP MENURUT FENOMENA COMPTE)
Oleh: Vivi Nurvitasari (1570125102)

Refleksi Hidup Dalam Rangka Memenuhi Tugas Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
(Kamis, 19 November 2015)

Pertama kali saya mendengar tentang filsuf Auguste Compte dari Bapak Marsigit pada perkuliahan Filsafat Ilmu di ruang 306A Prodi PEP Kelas B yang dilaksanakan setiap Hari Kamis pukul 07.30-09.10. Auguste Compte merupakan sosok filosof besar pencetus aliran Positivisme, yaitu sebuah aliran filsafat Barat yang timbul pada abad-19 dan merupakan kelanjutan dari Empirisme.
Positivisme yang menandai krisis-krisis di barat itu sebenarnya marupakan salah satu dari sekian banyak aliran-aliran filsafat di barat, meski dalam beberapa segi mengandung kebaruan namun pandangan ini bukan merupakan suatu hal yang sama sekali baru, karena pada masa sebelumnya Kant sudah berkembang dengan pendangannya mengenai empirisme yang dalam beberapa segi berkesesuaian dengan positivisme.
Adapun yang menjadi  tititk tolak dari pemikiran positivis ini adalah apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Di sini, yang dimaksud dengan “positif” adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Menurut Compte dan juga para penganut aliran positivisme,  ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Compte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidaklah mempunyai arti apapun. Oleh karenanya, ilmu pengetahuan dan juga filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Dengan demikian, kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Compte mencoba mengembangkan positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Hal ini terbukti dengan didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme.
Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Compte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Contoh misalnya pernyataan bahwa api tidak membakar. Model pemikiran ini dalam epistemologi disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Compte yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata "positif". Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Compte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban. Oleh karenanya, selanjutnya Compte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi.
Filsafat positivisme Compte juga disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan seiring. Bagi Compte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara “terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. (http://lauraerawardani.blogspot.co.id/2014/04/positivisme-august-comte-serta-fakta.html)
Pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia menyempurnakan empirisme dan rasionalisme. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting positivisme. Misalnya, hal panas. Positivisme mengatakan bahwa air mendidih adalah 100 derajat celcius, besi mendidih 1000 derajat celcius, dan yang lainnya misalnya tentang ukuran meter, ton, dan seterusnya.
Pada intinya, positivisme tidak hanya menggunakan metode rasionalisme saja atau empirisme saja, tetapi menggabungkan keduanya dengan cara melihat gejala yang fakta dan nampak lalu merasionalkannya dengan mencoba meramalkan gejala yang akan terjadi setelahnya. Contohnya hari ini langit mendung, itu adalah bagian dari empirisme, lalu diperkirakan sebentar lagi akan turun hujan, itu merupakan bagian dari rasionalisme. Jadi ide positivisme di sini adalah berpatokan pada gejala yang telah nampak.
Menurut Compte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap atau 3 zaman, yaitu zaman teologis, zaman metafisis, dan zaman ilmiah atau zaman positif.
1.     Tahap Teologis
Pada zaman atau tahap teologis orang mengarahkan rohnya kepada hakekat batiniah segala sesuatu. Jadi orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan yang mutlak. Oleh karena itu orang berusaha memilikinya. Orang yakin, bahwa di belakang tiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Pada tahap ini terdapat 3 tahap lagi, yaitu: a) tahap yang paling bersahaja atau primitif, ketika orang menganggap, bahwa segala benda berjiwa (animisme); b) tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya, sedemikian rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri (politeisme); c) tahap yang tertinggi, ketika orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi, yaitu dalam monoteisme.
2.  Tahap Metafisik
Zaman yang kedua, yaitu zaman metafisika, sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan saja dari zaman teologis. Sebab kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan yang abstrak, dengan pengertian-pengertian atau dengan pengada-pengada yang lahiriah yang kemudian dipersatukan dengan sesuatu yang bersifat umum yang disebut alam dan yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
3. Tahap Positif
Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis, maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau disajikan padanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Pada zaman ini pengertian “menerangkan” berarti: fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja.
     Hukum 3 zaman atau 3 tahap di atas bukan hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap orang sendiri-sendiri. Contoh praktisnya adalah dalam pelajaran matematika sebuah rumus bagi anak-anak hanya dijadikan sebuah teori dan tidak ada usaha untuk mengkritisinya atau mempraktekannya. Ketika remaja dia sudah mulai mengkritisi dan mempraktekannya dan mempunyai gambaran-gambaran atau abstraksi metafisik tentang rumus tersebut. Dan ketika sudah dewasa dia telah menemukan hasil dari nilai praktis rumus tersebut.
   Dalam refleksi hidup sekarang ini masih banyak yang cenderung mempraktikkan pemikiran-pemikiran dari Compte. Misalnya saja dalam dunia pendidikan, adanya kurikulum baru yaitu Kurikulum 2013 merupakan hasil dari pemikiran Compte tentang positivisme atau saintifik. Dalam Kurikulum 2013, metode yang cenderung digunakan adalah metode saintifik yang menekankan pada eksperimen, menguji suatu kebenaran secara empiris lalu merasionalkannya dengan melakukan olah pikir. Seperti yang disebutkan diatas bahwa positivisme tidak hanya berhubungan dengan empirisme saja namun juga berhubungan dengan rasionalitas. Maka positivisme itu hanya mempelajari hal-hal atau sesuatu yang nampak atau nyata oleh karena itu suatu metode saintifik juga hanya bisa digunakan untuk menguji fenomena atau hal yang nampak atau nyata dalam kehidupan sehari-hari.
     Karena positivisme lebih menekankan pada hal-hal yang nampak yang bersifat empriris juga rasionalisme, maka Compte juga berpendapat bahwa spiritualitas atau agama dan yang berkaitan dengan Tuhan itu tidaklah menjadi hal yang penting sehingga menganggap bahwa ibadah itu tidaklah penting. Seperti apa yang Pak Marsigit sampaikan dalam perkuliahan bahwa ketika seseorang mempunyai hp atau gadget baru, maka seseorang tersebut akan fokus pada gadget barunya dan akan melupakan atau bahkan meninggalkan ibadah sholat. Fenomena tersebut mencerminkan bahwa sebagai manusia kita terlalu jauh dari rasa syukur, rendah hati dan juga keikhlasan hati. Sehingga hal tersebut menjadi urgensi bagi kita untuk mempelajari Filsafat Ilmu, agar kita selalu menyadari tentang kekurangan dan keterbatasan kita dan mampu untuk mensyukuri atas apa yang ada. sehingga dari rasa syukur tersebut akan muncul suatu keikhlasan hati untuk selalu beribadah mendekatkan diri pada Allah.
     Oleh karenanya kita sebagai manusia yang masih jauh dari kesempurnaan perlu adanya membangun sebuah konsep hidup yang seimbang dan selaras antara olah hati yang didasari oleh spiritualitas dan juga olah pikir yang didasari dengan ilmu pengetahuan.

Minggu, 08 November 2015

BELAJAR PERAN DAN FUNGSI DARI FILSAFAT (Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Prodi PEP Kelas B oleh Vivi Nurvitasari)

BELAJAR PERAN DAN FUNGSI DARI FILSAFAT
Minggu, 8 November 2015
Refleksi pertemuan kedelapan (Kamis, 05 November 2015)
Oleh: Vivi Nurvitasari
15701251012

Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Petemuan kuliah Filsafat Ilmu yang dilaksanakan pada tanggal 05 November 2015 jam 07.30 sampai dengan 09.10 diruang 306A gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan kelas B dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A. Sistem perkuliahan pada minggu ini berbeda dengan pertemuan sebelumnya karena pada pertemuan kali ini Pak Marsigit memberikan penjelasan tentang “Peran dan Fungsi Filsafat dari Awal Zaman sampai Akhir Zaman”. Berikut adalah hasil refleksi dari materi yang telah disampaikan oleh Pak Marsigit pada pertemuan ke delapan :
Obyek filsafat itu adalah yang ada dan yang mungkin ada, yang mempunyai sifat bermilyar-milyar pangkat bermilyar pun belum cukup untuk menyebutkannya karena sifat itu berstruktur dan berdimensi. Misalnya saja warna hitam mempunyai semilyar sifat hitam, yaitu hitam nomor 1 ini, hitam nomor 2 itu, dst. Maka manusia sifatnya terbatas dan tidak sempurna, oleh karena itu manusia tidak mampu memikirkan semua sifat dan hanya bisa  memikirkan sebagian sifat saja, sebagian sifat yang dipikirkan saja sehingga bersifat reduksi yaitu untuk tujuan tertentu, tujuannya ialah membangun dunia, dunia pengetahuan. Jadi yang direduksi, yang dipilih adalah sifat dari obyek filsafat itu yang bersifat tetap dan berubah.  Kalau hanya berubah itu hanya separuhnya dunia, separuhnya lagi bersifat tetap, buktinya sejak lahir sampai sekarang sampai mati pun manusia tetap ciptaan Tuhan. Dunia jika hanya thesis saja baru separuhnya dunia dan itu tidak sehat dan juga tidak harmonis. Supaya sehat dan harmonis adanya interaksi antara yang tetap dan yang berubah. Misalkan saja namanya Pak Marsigit, walapun ada tambahan Prof.; Dr.; M.A tetap saja namanya Pak Marsigit. Maka  sebenar-benar hidup adalah interaksi antara yang tetap dan yang berubah. Yang tetap itu tokohnya Permenides. Yang berubah itu tokohnya Heraclitus. Yang tetap itu bersifat idealis, dan yang berubah itu bersifat realis. Yang ideal tokohnya Plato. Yang realis tokohnya Aristoteles. Tetap-ideal itu ternyata salah satu sifat dari pikiran, sedangkan berubah-realis ternyata salah satu sifat dari pengalaman. Pikiran menghasilkan aksioma, pengalaman menghasilkan kenyataan. Benarnya yang tetap, benarnya yang ideal, benarnya aksioma itu konsisten atau koheren, sedangkan benarnya yang berubah, benarnya kenyataan, benarnya pengalaman itu adalah korespodensi. Yang konsisten atau koheren tersebut merupakan matematika sebagai ilmu untuk orang dewasa sedangkan yang korespodensi adalah matematika untuk anak-anak yaitu matematika berupa aktivitas. Yang konsisten atau koheren tersebut bila dinaikkan menjadi transendentalisme, dinaikkan lagi menjadi spiritual dan semakin ke atas menjadi kebenaran tunggal yaitu mono dan menjadi aliran monisme. Sedangkan korespodensi bila diturunkan menjadi plural atau dualis yang menjadi dualisme.
Selagi kita itu berada di duniamaka kita masih mempunyai sifat yang plural, jangankan mahasiswa UNY, sedangkan diriku sendiri bersifat plural, karena bersifat plural maka pada yang tetap itu bersifat konsisten atau identitas yaitu A=A. A=A hanya terjadi dipikiran, maka matematika yang tertulis dibuku itu hanya matematika untuk orang dewasa, hanya benar ketika masih didalam pikiran, tapi ketika ditulis bisa saja salah. Sedangkan yang berubah itu bersifat kontradiksi yaitu A≠A, karena A yang pertama tidak sama dengan A yang kedua. Maka yang bersifat identitas itu terikat oleh ruang dan waktu sedangkan yang bersifat kontradiksi itu terbebas oleh ruang dan waktu. Yang bersifat tetap dan identitas itu dikembangkan dan dipertajam dengan logika yang tokohnya adalah Russel, maka lahirlah aliran logisism, ilmunya bersifat formal dan lahirlah aliran formalism, tokohnya Helbert.
Jadi yang ada dan yang mungkin ada itu bisa saja sembarang benda. Kemudian dari adanya logisism tersebut lahirlah aliran rasionalisme tokohnya Rene Decartes. Sedangkan dalam sifat yang berubah yang berupa pengalaman itu lahirlah empirisme tokohnya David Hume yang menuju pada tahun 1671. Yang tetap itu kebenarannya bersifat absolut maka lahirlah absolutisme, sedangkan yang berubah itu bersifat relatif, lahirlah aliran relatifisme. Jadi aliran filsafat itu tergantung pada obyeknya, dan ini terjadi pada diri kita masing-masing secara mikro, dan ketika kita membaca atau mempelajari buku, misalnya buku tentang Rene Decartes itu berarti makronya. Jadi hidup itu adalah interaksi antara mikro dan makro. Yang namanya logika, pikiran itu konsisten didalam filsafat disebut analitik. Analitik berarti yang penting konsisten dalam satu hal menuju ke hal yang lain. Sehingga yang disebut analitik dan konsisten tersebut membutuhkan aturan atau postulat. Untuk yang mempunyai aksioma atau yang mempunyai postulat adalah subyeknya atau dewanya, misalnya seorang kakak membuat aturan untuk adiknya, ketua membuat aturan pada anggotanya, dosen membuat aturan untuk mahasiswanya. Sedangkan yang di bawah atau yang berubah itu bersifat sintetik punya sebab dan akibat. Yang diatas yang bersifat tetap atau konsisten itu bersifat analititk, dan juga bersifat a priori yaitu bisa dipikirkan walaupun belum melihat bendanya.
Yang dibawah berupa pengalaman itu adalah a posteriori, contohnya dokter hewan yang harus memegang sapi untuk bisa mengetahui mengetahui penyakit yang diderita si sapi tersebut, jadi a posteriori itu adalah paham setelah melihat bendanya. Sedangkan a priori, misalnya dokter yang membuka prakter pengobatan lewat radio, ketika menangani pasien, dokter tersebut mendengarkan keluhan-keluhan dari si pasien lewat radio, hanya dengan mendengarkan tanpa melihat, dokter tersebut sudah bisa membuat resep yang didasari oleh konsistensi antara teori satu dengan teori yang lain. Maka Immanuel Kant mencoba mendamaikan perdebatan yang terjadi antara empirisme dan rasinalisme. Descartes dan pengikutnya berkata tiadalah ilmu jika tanpa pikiran, sedangkan David Hume berkata tiadalah ilmu jika tidak berdasarkan pengalaman. Lalu Immanuel Kant mengatakan bahwa antara Descartes dan David Hume itu keduanya benar dan juga keduanya salah. Dalam apa yang disebutkan oleh David Hume terdiri unsur kesombongan karena mendewa-dewakan pengalaman. Sedangkan dalam apa yang dikatakan Descartes itu terdapat kelemahan yaitu terlalu mendewa-dewakan pikiran dan mengabaikan pengalaman. Maka unsur daripada pikiran adalah analitik a priori, dan unsur daripada pengalaman adalah sintetik a posteriori. Ambil sintetiknya, ambil a priorinya, maka sebenar-benarnya ilmu itu bersifat sintetik a priori, ya dipikirkan dan juga dicoba. Jadi jika analitik a priori itu dunianya orang dewasa atau dunianya dewa, sedangkan sintetik a posteriori itu adalah dunianya anak-anak. Maka dewa itu mengetahui banyak hal tentang anak-anak, dan anak-anak hanya mengetahui sedikit tentang dewa. Jadi mendidik anak itu harus bisa melepaskan kedewasaannya, karena kalau tidak dilepaskan itu akan menakut-nakuti anak tersebut. Dewa jika turun ke bumi akan menjelma menjadi manusia dewasa. Guru digambarkan seorang dewa yang turun ke bumi menjelma menjadi manusia dewasa, itulah gambarannya seorang guru. Jika kita sebagai guru SD maka pikiran kita juga harus menjelma menjadi pikiran anak-anak, kalau tidak maka gambarannya akan seperti gunung meletus yang mengeluarkan lava, yang tinggal dilembah gunung itu adalah anak-anak, sedangkan guru atau orang dewasa itu bagaikan lava yang turun dari atas dan panasnya bukan main. Maka ketika mengajarkan matematika pada anak itu berikan contohnya, karena definisi bagi anak kecil itu berupa contoh, sedangkan definisi matematika bagi orang dewasa itu berupa bukti.
Akhirnya filsafat dalam perjalanannya seperti yang disebutkan diatas, maka lahirlah dalam sifat yang tetap dan konsisten itu berupa ilmu-ilmu dasar dan murni, sedangkan dalam sifat yang berubah itu berupa sosial, budaya, ilmu humaniora. Maka sampai disitulah bertemu yang namanya bendungan Compte. Inilah segala macam persoalan tentang August Compte seorang teknik tapi pikirannya berisi tentang filsafat. Compte berpendapat bahwa agama saja tidak bisa untuk membangun dunia, karena agama itu irrasional dan tidak logis. Maka diatasnya agama atau spiritual itu adalah filsafat, dan diatasnya filsafat itu ada positif atau saintifik. Positif atau saintifik itulah yang digunakan untuk membangun dunia, maka lahirlah aliran positifisme. Jadi kurikulum 2013 yang berupa metode saintifik itu asal mulanya dari pikiran Compte yang berupa pisitifisme tadi.
Dari kesemuanya tersebut yang didukung oleh ilmu dasar sehingga menghasilkan teknologi, sehingga menjadi paradigma alternatif, kenapa? Karena itu termasuk Indonesia yang dicerminkan dalam filsafat yang disampaikan oleh Pak Marsigit yang strukturnya mulai dari material, formal, normatif, lalu spiritual. Itu merupakan cita-cita Indonesia sesuai dengan dasar negaranya yaitu Pancasila, dimana Pancasila itu filsafat negara yg bersifat monodualis, mono karena Esa Tuhannya, dualis yaitu aku dengan masyarakatku, jadi vertikal dan horisontal, itulah cita-cita kita semua sebagai warga negara Indonesia. Dalam kehidupan ternyata melintas suatu positivisme yang tidak kita sadari di dunia timur termasuk Indonesia, maka Compte dengan positifisme telah menjelma menjadi Power Now, yang dimulai dari archaic, tribal, tradisional, feodal, modern, post modern, post-post modern, baru kemudian power now. Dengan pilarnya berupa kapitalisme, pragmatisme, utilitarianisme, hedonisme, materialisme, liberalisme, saintifisme yang lahir adalah saintifik. Jadi metode saintifik dalam kurikulum itu adalah ketidakberdayaan Indonesia bergaul dengan power now.
Maka kita belajar filsafat itu bagaikan seekor ikan dilaut yang airnya terkena polusi berupa kontemporer (kekinian). Tapi kita bukanlah sembarang ikan, maka disitu terjadi peristiwa dewa ruci. Ketika Sang Bima mencari wahyu didalam dasar air laut. Jadi tidak sembarang ikan yang bisa sampai kedasar laut, ikan tersebut haruslah mempunyai ilmu dan pengetahuan. Jika tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan maka ikan tersebut tidak akan tahu tujuannya mau kemana untuk mencari air laut yang jernih.
Jadi apakah anda paham apa itu kontradiksi? Karena sebenar-benarnya hidup ini adalah kontradiksi. Kontradiksi yang nyata dan yang kasat mata adalah ketika orang terjun ke air, muncul di atas sudah terlentang, maka berfilsafat itu mencari pengetahuan sehingga ketika terjun ke dalam air bisa muncul lagi dengan selamat. Jadi berfilsafat itu mencari alat untuk memilah-milah antara limbah kapitalisme, limbah liberalisme, limbahnya materialisme, dst. Jadi filsafat itu ada didalam diri kita semuanya. Maka adanya interaksi antara makro dan mikro. Jadi itulah gambarannya untuk mahasiswa sebagai bekal ketika membaca elegi-elegi dalam blog Pak Marsigit. Setiap hari Indonesia tidak bisa berdiri karena digempur oleh berbagai macam peristiwa power now yang berupa teknologi, pendidikannya, serta politiknya. Sehingga Indonesia tidak mempunyai jati diri, kenapa bisa begitu? Karena dipengaruhi oleh para pemimpin sejak dulu, karena pemimpin kita dulu banyak mendapat godaan. Tetapi indonesia bergaul dengan dunia internasional itu tidak murah, karena selalu menanamkan investasi yang besar. Sehingga indonesia telah menjadi obyek dari subyeknya, maka begini salah begitu salah, serba salah. Itulah kita bangsa yang lemah, para pemikirnya juga menjadi bangsa yang lemah, sehingga saintifiknya juga menjadi tidak berkarakter, karena metode saintifik dalam kurikulum 2013 itu pasti ada sebuah hipotesis. Di Indonesia sendiri tidak menggunakan hipotesis, kenapa? Karena jika memakai hipotesis mereka takut dan khawatir jika terlalu tinggi pasti akan ditolak oleh para ahli dan masyarakat, maka metode saintifik didalam Kurikulum 2013 itu dihapus dan diganti dengan Menanya, tapi menanya tersebut menjadi tidak berarti. Menanya apa? Padahal yang benar adalah menanya dalam rangka membuat hipotesis. Maka saintifik itu perlu dicoba, misalnya untuk mengetahui suhu dalam ruangan itu perlu diukur atau dicoba diukur untuk mengetahui suhu yang pasti dalam ruangan tersebut.
Metode saintifik itu hanya salah satu sepertiga dari ilmu humaniora, sepertiganya daripada hermeneutika, karena hermeneutika itu mengembang linear dan siklik dalam titik ada 3 elemen. Elemen menukik yang artinya mendalami secara intensif dengan memakai metode  saintifk; elemen mendatar itu artinya membudayakan (Senin ketemu Senin); dan elemen mengembang yang artinya membangun dunia.  Membangun matematika itu menemukan konsep, menemukan rumus. Maka mahasiswa yang sedang membangun dunia dengan filsafat itu belum jelas seperti apa bangunannya. Maka dari itu harus banyak membaca. Ikan ya ikan tetapi alangkah baiknya ikan itu mengetahui jenis-jenis dari air agar bisa mencari air yang bersih, karena itu bukan untuk kepentingan ikan itu sendiri, karena nantinya ikan itu akan bertelur sehingga menyelamatkan generasi yang akan datang atau keturunan kita nantinya. Jika engkau paham dan sadar mudah-mudahan keturunanmu juga nantinya akan mengerti dan sadar, juga orang didekatmu, keluargamu termasuk murid-muridmu. Amin.
Alhamdulillahirrobbil’alamin.

Wassalamu’alaikum, Wr, Wb.

Minggu, 01 November 2015

FILSAFAT DALAM MEMANDANG BERBAGAI STRUKTUR KEHIDUPAN (Refleksi Pertemuan ke-7)

FILSAFAT DALAM MEMANDANG BERBAGAI STRUKTUR KEHIDUPAN
Minggu, 1 November 2015
Refleksi pertemuan ketujuh (Kamis, 29 Oktober 2015)
Oleh: Vivi Nurvitasari
15701251012

Bismillahirahmanirrahim
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Petemuan kuliah Filsafat Ilmu yang dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2015 jam 07.30 sampai dengan 09.10 diruang 306A gedung lama Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta Prodi Pendidikan Penelitian dan Evaluasi Pendidikan kelas B dengan dosen pengampu Pak Marsigit, Perkuliahan ini diawali dengan tes jawab cepat sebanyak 50 soal lalu dilanjutkan dengan mahasiswa mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan dijawab oleh Pak Marsigit.

Sistem pertemuan pada minggu ini sama dengan pertemuan sebelumnya yaitu adanya tes jawab cepat diawal kuliah, tema tes kali ini juga masih sama dengan tema pada pertemuan minggu sebelumnya yaitu tentang “Menembus Ruang dan Waktu”. Tes jawab cepat yang diberikan Pak Marsigit ini sudah ada dalam postingan-postingan Bapak diblog Pak Marsigit. Sehingga untuk bisa menjawab tes ini, mahasiswa diharapkan rajin membaca dan memperbanyak membaca postingan diblog Pak Marsigit.

Pertanyaan pertama dari Sdri. Rizqy Umami :“Bagaimana memahami filsafat karena selama ini saya berusaha membaca dan memahami  isi postingan dari Bapak, namun ketika saya menjawab tes jawab cepat yang Bapak berikan itu selalu kurang sesuai dengan jawaban dari Bapak?”

Jawaban Pak Marsigit dari pertanyaan tersebut adalah: ”Seorang filsuf besar pun jika diminta untuk mencoba menjawab pertanyaan saya dari soal tes jawab cepat ini bisa berkemungkinan mendapatkan nilai nol karena filsafat itu adalah dirimu sendiri, jadi janganlah khawatir. Maka metode berfilsafat adalah metode hidup yaitu terjemah dan terjemahkan. Terjemahkanlah diriku, bukan aksesorisnya tetapi pikirannya dengan cara baca, baca, dan baca, kemudian saya menerjemahkan diri anda dengan cara bertanya, ternyata masih kosong karena belum sepenuhnya membaca. Seseorang, apalagi mahasiswa itu hanya bisanya membaca, berusaha, berikhtiar jangan patah semangat, diteruskan saja. Pertanyaan saya ini fungsinya tidak semata-mata mengetahui pikiran anda, tapi untuk sarana mengadakan dari yang mungkin ada bagi dirimu masing-masing. Setidaknya dari bertanya tadi para mahasiswa sudah mulai ada kesadaran menembus ruang dan waktu, apa maksdunya? Jangankan manusia, tetapi binatang, tumbuhan dan batu pun juga menembus ruang dan waktu, tidak ada batu yang protes ketika kehujanan, kalau hujan protes karena kehujanan pun si batu itu menembus ruang dan waktu dengan metodologi dan ilmu tertentu, tapi diam disitu pun dia dari kehujanan menjadi tidak kehujanan itu sudah menembus ruang, semua benda bisa saya sebut, didepannya adalah waktu, misalkan pada hari Kamis ini kabut asap, pada hari Kamis ini Presiden Jokowi. Silahkan sebut 1 sifat saja dari bermilyar pangkat bermilyar sifat yang tidak dikaitkan dengan waktu yang bisa anda sebut, bahkan yang notabenenya terbebas oleh ruang dan waktu yang ada di pikiran anda, misalnya 2+2=4 itu karena terbebas oleh ruang dan waktu, tapi saya masih bisa mengatakan hari ini bahwa 2+2=4, pada hari Jumat besok juga 2+2=4, itu identitas karena terbebas oleh ruang dan waktu, ketika sudah terikat oleh ruang dan waktu serta merta menjadi kontradiktif, ada sifat-sifatnya dan sifat itu bersifat subordinat menjadi predikat daripada subyeknya.”

Pertanyaan kedua dari Sdri. Fajar:”Bagaimana filsafat memandang pendidikan di Indonesia dan meningkatkan pendidikan di Indonesia?”

Jawaban dari Pak Marsigit Adalah: “Itu tema besar tapi itu bisa anda baca di postingan saya yang sudah ada dan sangat lengkap, tapi esensinya untuk mengetahui praksis pendidikan, alangkah baiknya juga mengetahui latar belakang pendidikan dan landasan pendidikan serta masa depan pendidikan. Itu wadahnya tidak lain dan tidak bukan adalah filsafat pendidikan. Untuk mengetahui filsafat pendidikan maka belajarlah filsafat. Semua terangkum di postingan saya termasuk ada unsur-unsurnya, pilar-pilarnya politik pendidikan dan ideologi pendidikan dan pendidikan konstekstual. Jadi tidak usah jauh-jauh ke Amerika karena di Indonesi pun ada politik pendidikan juga politik pemerintahan.”

Pertanyaan ketiga dari Sdra. Ndaru Asmara: ”Apakah dengan berfilsafat kita bisa berinteraksi atau mungkin berkomunikasi dengan makhluk lain, misalkan saja hewan dan tumbuhan?”

Jawaban dari Pak Marsigit: “Filsafat itu wacana, filsafat itu bahasa, filsafat itu penjelasan, maka ada jarak antara penjelasan dan praksisnya. Bagi seorang filsuf, dia berkeinginan untuk menjelaskan kenapa orang kesurupan, tapi filsuf sendiri tidak bisa kesurupan, sedangkan yang kesurupan tidak menyadarinya, jangan kemudian filsuf juga harus ikut-ikutan kesurupan, nanti siapa yang mau menjelaskan tentang alasan mengapa orang kesurupan tersebut, karena filsafat itu olah pikir, dari semua pikiran-pikiran yang ada itu kemudian dipakai untuk menjelaskan fenomena, termasuk fenomena gaib secara filsafat naik spiritual, turun menjadi psikologi, filsafat itu lengkap ada spiritualnya juga ada psikologinya. Orang awam menyebutnya ilham, spiritual petunjuk dari Tuhan, kalau seseorang mendapatkan pencerahan tidak mengerti sebabnya dia memperoleh pencerahan tersebut, secara filsafat begitu saja, itu namanya ilham. Dan ternyata kalau kita mau meneliti setiap yang ada dan yang mungkin ada, setiap waktu saya selalu mendapatkan ilham, saya bisa menjawab pertanyaanmu karena saya mendapatkan ilham, jangan kemudian memitoskan ilham, semua pencerahan yang ada ini adalah ilham. Apakah anda bisa menjelaskan proses trjadinya ketika anda bisa menjawab dengan menggunakan yang ada didalam pikiranmu? Seberapa jauh anda bisa, dan tidak akan bisa sempurna, pada akhirnya itu adalah ilham juga.  Wahyu itu juga ilmu, makanya orang jaman dahulu dipersonifikasikan wahyu itu sebagai benda hidup, karena apa? Karena audiensnya itu  tradisional sekali maka ketika sang arjuna (Pak Marsigit) mencari wahyu itu pergi ke hutan ke tempat yang sepi artinya itu engkau dikamar (untuk jaman sekarang) lalu membaca elegi saya, itu sama saja ketika jaman dulu arjuna masuk ke hutan mencari wahyu atau menyepi, merenung, memahami, disitulah anda akan mendapatkan wahyu yang banyak sekali, pengetahuan yang mungkin ada menjadi ada. Persis sama dengan yang dilakukan arjuna itu tadi, yang mungkin ada menjadi ada, wahyunya berupa manusia setengah dewa bisa berdialog dengan arjuna sehingga akan menjadi 1 dengan diri arjuna. Apa yang menjadi 1 dengan dirimu? Spiritualnya formal adalah spiritual, spiritualnya material adalah spiritual, itu yang telah menjadi 1 dengan dirimu, jadi anda tadi sudah mendapatkan banyak sekali wahyu ketika menjawab pertanyaan dari saya, tapi engkau tidak menyadarinya. Berfilsafat itu adalah menyadari kalau saya belum tahu, menyadari mengetahui ketidaktahuanku, menyadari kapan saya mulai mengetahui, menyadari batas antara tahu dan tidak tahu. Maka benda-benda gaib dsb itu diterangkan naik spiritual filsafat transenden, turun psikologi. Transendennya filsafat adalah noumena. Noumena itu diliuar dari fenomena, yang dipegang yang dilihat semua yang difikirkan yang didengar itu semua fenomena, maka ruh dan arwah dianggap noemena, seberapakah orang itu tahu bisa dengan berbagai macam metode  memakai logika, memakai pengalaman, memakai teori ke spiritual berbagai macam cara untuk berusaha mengetahui apa yang disebut dengan arwah. Maka ada batasannya, batas-batas tertentu, maka bagi pikiran saya yang namanya setan itu potensi negatif, malaikat potensi positif. Di dalam dirimu ada potensi negatif ada potensi positif, neraka itu potensi negatif, surga itu potensi positif oleh karena itu raihlah surga ketika engkau masih didunia tapi bukan berarti surga dunia. Maka  orang-orang yang sudah masuk surga secara psikologi itu kelihatan, secara hukum juga kelihatan, jelas para koruptor itu tidak masuk surga secara hukum, jelas dia orang-orang yang masuk neraka secara hukum, secara spiritual lain lagi, itulah pikran kita berdimensi, yang dilihat pun berdimensi, maka bagi anak kecil pohon itu ada hantunya, padahal kata kakak saya itu hanya supaya anak kecil takut dan tidak merusak tanaman, jadi bagi orang dewasa itu hanya sebatas menakut-nakuti si anak kecil, itulah bedanya. Berbicara dengan hewan (pus-pus, meong), akrab dengan kucing, apa definisi bicara, itu saya sudah mengetahui bahasa kucing. Komunikasi dengan tumbuhan (aduh kamu tumbuhan sudah mulai layu maka aku siram), jadi elegi kalau diteruskan elegi tumbuhan membutuhkan air, dialog antara tumbuhan dengan yang menanamnya tadi itu munculnya elegi itu seperti itu. Sehingga apabila spiritual, saya pernah mengalami pengalaman spiritual selama 10 hari tinggal dimasjid belajar bersama sufi, menertibkan tata cara berdoa beribadah, dsb. Ketika intensif berdoa disitu, alamnya seperti itu, saya pun rasanya enggan pulang, ingin saja berdoa terus, dan ketika itu sensitifitas rohani atau hati saya itu sangat tinggi sehingga kemampuan-kemampuan metafisik itu muncul jangankan dengan apa yang dikatakan atau berdialog dengan itu, misalkan seseorang yang makan bakmi di pinggir jalan yang bakminya tidak didoakan ketika dibuat, dan orang yang memakannya tidak berdoa sebelum makan bakmi tsb, saya melihatnya seperti orang memakan cacing, itu ketika diriku sedang memiliki spiritual yang sangat tinggi.”

Pertanyaan keempat dari Sdra. Suhariyono:”Bagaimana beragama dari sisi filsafat?”

Jawaban dari Pak Marsigit: “Itu pertanyaan sudah selalu saya katakan bahwa beragama dari sisi filsafat ialah tetapkanlah dulu agamamu, tetapkanlah dulu keyakinanmu, tetapkanlah dulu hatimu, yakin dulu baru mulai menerbangkan layang-layang pikiran, sebab jika layang-layang pikiran itu kita terbangkan jauh tetapi kita ini belum mempunyai patokan agama, nantinya akan lepas talinya , maka akan terbang kemana-mana, maka jatuhlah ke negeri majusi, ke negeri kufar (sangat kafir), dst. Maka pikiran itu sehebat-hebatnya manusia berpikir setengah dewa tidak akan mungkin dia bisa menuntaskan perasaannya. Sering sekali anda itu merasakan sesuatu yang anda tidak mampu memikirkannya, perasaan setiap saat anda itu merasakan, mulai merasakan dari sedih negatif 1000, sampai sedih positif 1000 jadi gembira, gembira negatif jadi sedih, itu baru perasaan gembira dan sedih, belum jika perasaan sayang, cinta, empati, dst. Maka pikiran itu bisanya hanya mensupport spiritualisme, berfilsafat versi saya ini adalah silahkan pikiranmu digunakan untuk memperkokoh dan memperkuat iman anda masing-masing. Saling mengingatkan sesuai dengan agamanya masing-masing. Jadi di kitab suci itu disebutkan juga betapa pentingnya orang cerdas dan orang yang berpikir daripada orang yang tidak cerdas, karena orang yang tidak cerdas itu pun menjadi sumber godaan setan. Godaan setan itu bermacam-macam, jadi fitnah, jadi mengatakan yang tidak baik, dst.”

Pertanyaan kelima dari Sdri. Ma’alifa Alina: ”Bagaiman filsafat menjelaskan ketetapan Tuhan, seperti teologi, fiqih dan konsekuensinya seperti apa?”

Jawaban dari Pak Marsigit adalah: “Kalau menurut saya, spiritual akan kembali pada diri masing-masing, karena spiritual itu urusan dirimu dengan Tuhan (habluminallah), dan juga ada tuntunan antara urusanmu dengan orang lain namanya habluminannas. Kalau saya daripada artinya sesuatu yang sangat diluar kemampuan saya secara alami mengalir, lihat diriku, diri orangtuaku, lihat diri keluargaku, lihat diri pikiranku, lihat diri pengalamanku, begitu saja bagi saya, mengalir saja. Tengoklah komunitasmu, tengoklah keluargamu, tengoklah pengalamanmu, seperti apa spiritual itu selama ini? Maka hidup yang baik adalah masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Spiritual itu adalah tugas kita sebagai manusia untuk berikhtiar mengetahui mana-mana saja yang soheh, dan yang kurang soheh, dst. Manusia itu terbatas, oleh karenanya bertindaklah sesuai dengan ruang dan waktunya. Misalnya adanya teknologi untuk menentukan tangaal 1 syawal, karena saya tidak bisa ya maka saya hanya bisa mengikuti aturan dari pemerintah saja, ketetapan pemerintah. Jadi segala macam spiritualitas bersifat postulat, postulat adalah yang kemudian menjadi model diterapkan didunia, manusia juga membuat postulat-postulat, maka subyek menentukan postulatnya bagi obyeknya. Engkau juga membuat postulat, membuat peraturan pada adik anda. Jadi seperti itu struktur per struktur, dirimu yang memahami struktur juga berstruktur, struktur dirimu itu ternyata dinamik yang sedang menembus ruang dan waktu.”

Pertanyaan selanjutnya dari Sdra. Bayuk Nusantara: “Bagaimana filsafat memandang adanya benar dan salah?”

Jawaban Pak Marsigit adalah: “Sudah berkali-kali saya katakan,  jadi itu maksudnya karena pikiran manusia. Yang benar itu adalah sesuai dengan ruang dan wktu atau tidak.”

Pertanyaan terakhir dari Sdri. Tyas Kartiko: ”Jadi sebenarnya filsafat itu kompleks atau sederhana?”

Jawaban Pak Marsigit adalah: “Ya kompleks ya sederhana, tapi bukan jawaban saya yang seperti ini yang merupakan filsafat. Filsafatnya adalah penjelasanku kenapa saya menjawab kompleks, dan penjelasanku kenapa saya menjawab sederhana, itulah filsafat. Engkau pun bisa menerangkan, itulah filsafatmu, filsafat itu sederhana sekali hanya olah pikir, berpikir reflektif. Anda mengerti bahwa anda sedang berpikir, itu filsafat, jadi sederhana sekali. Kalau ingin ditambahkan boleh pilarnya ada 3 Ontologi, Epistemologi, Aksiologi. Kompleks karena intensif, dalam sedalamnya bersifat radik, maka ada istilah radikalisme, ekstensif yaitu luas seluas-luasnya, melipiuti dunia dan akhirat. Yang masih bisa engkau jangkau melalui pikiranmu, setelah engkau tidak mampu memikirkannya ya sudah, gunakan alat yang lain yaitu spiritualitas. Dalam rangka menggapai kebenaran itu, Francis Baken namanya, terkenal dengan kata-kata ‘knowledge is power’, pengetahuanmu itu adalah kekuatanmu. Ada beberapa kendala seseorang itu mencapai kebenaran. Kendala pasar, misalnya di facebook orang bicara begini begitu, jadi kalau begini kesimpulannya begitu, juga kalau begitu kesimpulannya begini, dsb.  Kendala panggung, artis misalnya Syahrini mengatakan begitu, jadi ini itu begitu menurut Syahrini seorang artis terkenal. Pak marsigit berkata spiritualnya formal adalah spiritual, sampai akhir kuliah, sampai engkau meninggalkan dunia akan tetap seperti itu, itu berarti engkau  termakan atau terpengaruh oleh mitos-mitosnya pak Marsigit. Itu harus engkau cerna dan telaah, itulah mengapa saya heran kenapa tidak ada mahasiswa yang bertanya tentang pertanyaan soal tes saya tadi, berarti sudah ada kecenderungan  engkau itu terhipnotis oleh pernyataan saya dan itu menjadi kebenaran final bagi dirimu, padahal itu bukan kehendak daripada berfilsafat ini. Engkau harus membuat anti thesisnya. Namanya orang menguji itu suka-suka, engkau bisa saja menguji saya supaya nilai saya mendapat nol. Nilai nol itu bukan berarti salah tapi itu membuktikan bahwa setiap dari dirimu itu mempunyai filsafatnya masing-masing, karena filsafat dari perkuliahan ini adalah untuk mengajarkan agar kita tidak sombong dengan mendapatkan nilai nol dari setiap tes, agar kita selalu rendah hati. Tetapi kalau itu kesimpulannya berarti engkau sudah berhenti berpikir, tetapi filsafat itu terus menerus memikirkannya, maka bacalah pertengkaran antara orang tua berambut putih karena itu proses mendapatkan ilmu. Jangan hanya membaca elegi Pak Marsigit di dalam mimpi, mimpi itu diukur konsistensinya jadi tidak koheren, tapi mimpi itu sebagian dari pengalaman tapi tidak sepenuhnya jadi tidak korespondensi. Jadi mimpi itu bukan persepsi bisa diterangkan dengan teori berpikir, tapi akan lain jika diterangkan oleh seorang paranormal.”

Alhamdulillahirrobil’alamin

Wasssalmu’alaikum, Wr. Wb.